[HunShin/Rated] Mischief while being Sick

Gambar

 

Berdiri di pinggir tempat tidur, aku menatap wajah Sehun yang matanya terpejam. Ada sesuatu yang menggelitik perutku saat melihat bulu matanya yang panjang membentuk bayangan di bawah matanya. Rasanya dunia benar-benar tidak adil karena menciptakan pria dengan paras sempurna yang berubah menjengkelkan tiap kali ia membuka mulutnya.

 

“Sudah sebesar ini, masih saja keras kepala. Bagaimana kalau tak ada aku? Sudah kupastikan kau akan membusuk di pinggir jalan,” gerutuku. Aku mengulurkan pergelangan tanganku yang menggenggam kompres untuk diletakkan di dahi lebarnya. “Sial kau, aku memberimu payung ‘kan untuk dipakai, bukan sekedar dijadikan pemanis penampilan.” Kataku benar-benar tak sabar.

 

Tiba-tiba bibir Sehun membentuk senyuman. Aku hampir menarik tanganku karena kaget, tapi ia menahan tanganku untuk tetap diam. Mengelusnya sebentar, sebelum kemudian memindahkan tanganku ke bibirnya. Aku menyentaknya. Namun, alih-alih berhenti dan melepaskan tanganku, lidahnya—yang dengan kurang ajarnya—menyusuri nadiku dan meninggalkan jejak yang panas dan basah. Mata gelap Sehun terbuka. Ia mengunci tatapanku sambil terus menikmati kegiatan ‘terlarang’nya itu. Rasanya begitu erotis hingga aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak mengerang. “Hentikan,” tapi suaraku begitu lemah hingga malah terdengar seperti permohonan daripada perintah.

 

Aku terkesiap dan dengan sekuat tenaga langsung menariknya. Ternyata Tuhan masih memberkatiku, aku berhasil. “Jangan lakukan itu!” bentakku dengan wajah yang terasa panas. Aku menekan tanganku di jantungku yang menghentak kencang.

 

Si Oh ‘sialan’ Sehun itu malah terkikik geli, lantas berguling ke samping. “Nuna…gumawo,”

 

Aku mendengus. “Jangan merayuku,”

 

“Bukan Sayang, terimakasih.”

 

Dan aku hanya mencebik sebal. “Hm, jangan ulangi lagi.”

 

Senyumnya melebar. “Tak akan, aku janji.” Ia melirikku sebentar sebelum kembali berujar, “Nuna sudah makan?”

 

“Harusnya itu yang kutanyakan padamu,”

 

Alis Sehun terangkat. Pandangan spekulatif yang diberikannya membuatku gelisah. Aku ingin menambahkan sesuatu, tapi tiba-tiba ia mengulurkan tangannya yang lain dan mengacak rambutku gemas. “Aku sudah, kok,” sahutnya.

 

“Aku belum,” jawabku, tidak melihat alasan kenapa harus berbohong.

 

“Tsk. Itulah kenapa aku mengkhawatirkanmu Nuna…” Sehun menyisir rambutku dengan jari-jarinya dan terus mengunci tatapan matanya.

 

Napasku tercekat saat dia menggenggam tanganku semakin erat. Kehabisan kata-kata, aku mulai melantur. “Jangan pedulikan aku, pedulikan saja dirimu. Lihat, kau bertingkah seperti anak kecil.”

 

“Aku memang anak kecil, apalagi saat bersamamu,” cengirnya, “itu menyenangkan, tahu.”

 

Dasar bocah tengik.

 


 

Kulitnya mulai kembali ke warna aslinya, tidak sepucat tadi. Suhu badannya telah kembali normal, aku jadi lega. “Sudah enakkan?”

 

Sementara itu Sehun masih memainkan helaian rambutku. Ia memutar-mutar jemarinya dari ujung rambut sampai pangkalnya, kemudian melepas helai ikalnya untuk diulang lagi. “Sudah,” senyumnya mengembang.

 

Sebelum aku sempat bertanya lagi, ia melanjutkan. “Semuanya akan baik, jika Nuna yang merawatku,” ia berhenti dan tersenyum saat melihat mataku yang melebar.

 

“Bagaimana bisa kau kehujanan, padahal kau membawa payung?”

 

Sehun menyisir rambutku dengan jemarinya dan kembali memainkannya. Tersenyum, ia berbisik. “Rahasia, dong.”

 

Aku merengut. “Apanya yang rahasia, itu sih tolol namanya.”

 

Sehun tampak tak peduli. “Hm, kemarilah Nuna. Kau membuatku nyaman,”

 

Mataku langsung menyipit curiga. Aku bersiap untuk melangkah mundur, tapi sebelum aku sempat menolak dan menarik diri, ia sudah menangkap pergelangan tanganku. Menariknya hingga tubuhku terjatuh di atas tubuhnya yang keras. Pergelangan tanganku terpenjara di dalam genggamannya.

 

Si tengil itu menambah tarikan di lenganku, memaksaku mencondongkan tubuh lebih jauh ke arahnya. Aku tersentak saat mendapati kulit telanjang kencangnya yang ditutupi bulu halus di dadanya. Dan ketika wajah kami berdua berhadapan, aku terengah, melihat kilat lapar berkelebatan di mata gelap pemuda itu.

 

Lengan panjangnya melingkari belakang kepalaku dan oksigen seperti terampas dari udara ketika ia menciumku dengan keras. Tidak, bukan ciuman, ini adalah rampasan. Dan pemuda itu mengambil sepenuhnya. Merampas seluruh pikiran dan kehendakku. Ia meraup rambutku dan meremasnya sambil memiringkan kepalaku.

 

“Demam…mu…” engahku saat ia menggigit bibir bawahku.

 

“Tak akan menghentikanku.”

 

Aku terkesiap saat tiba-tiba ia berguling dan membuat punggungku menekan ranjang. Ia bergerak di atasku, besar dan tinggi, kembali menciumku seolah ingin melahapku hidup-hidup.

 

Suara sepatu yang terjatuh ke lantai keramik menyentakku. Aku menggigit bibirnya sampai merasakan darah, mengulum esensinya dengan keras. Manis seperti ceri dari Surga, mungkin rasa dirinya terasa hampir seperti itu.

 

Tangannya menangkup dadaku dan meremasnya, membuat erang tersendat keluar dari napasku yang terasa sesak. Tangannya yang lain bergerak di pahaku dengan tidak sabar. Mulutnya meninggalkan mulutku untuk memulai pencarian menggairahkan di leher, mengikuti jejak saraf halus turun ke tempat pundak dan leherku bertemu. Ia menempatkan diri lebih berat lagi di antara tungkai kakiku, memberiku berat badannya hingga aku merasakan tubuhnya yang kokoh menekan intim.

 

Aku terkesiap kaget. Ini terlalu banyak. “Hentikan…kau…” anehnya suaraku keluar dalam bentuk erangan tertahan.

 

Seiring tiap gerakan, lebih banyak lagi sensasi terungkap, tepi kelembutan gairah mendadak berubah menjadi keliaran peka. Ia menguasai mulutku dengan ciuman yang lama dan memabukkan sementara di bagian bawah pemuda itu memulai irama samar, mendesak, dan meluncur, menggunakan tubuhnya untuk membuatku bungkam. Aku menggeliat, putus asa mencoba untuk mengikuti kekokohannya. Entah kenapa meskipun seharusnya terasa salah, tapi aku merasa ini semua begitu benar, begitu liar, begitu menyenangkan hingga membuatku takut.

 

Dan aku selalu membenci ketakutan dalam jenis apapun.

 

“H-Hun—ugh! A-aku sedang…” kataku terengah.

 

Tubuh Sehun menegang. “Haid?” bibirnya yang berada di dadaku terasa panas saat lidahnya mulai bergerak. “Ada banyak cara untuk menjagamu tetap seperti itu,” bisiknya serak.

 

“Tidak!” aku meraung putus asa. Menggeliat meskipun percuma. “Lepaskan aku sebelum aku membiarkanmu melakukan perbuatan yang pasti akan kau sesali!”

 

Sehun merobek kemeja yang kupakai, diikuti dengan bra-ku dalam satu sentakan. “Menyesal? Aku?” tanyanya skeptis dengan seulas senyum arogan. Ia merendahkan wajahnya dan menggigit bagian sensitif yang membuatku menggigit bibir.

 

Aku tersentak, meremas rambut Si tengil itu untuk menghentikannya. “Tidak…” engahku. “Kau tidak bisa, tidak.”

 

Sehun menggeram. Ia kembali merampas suara dari bibirku ketika ia membungkamnya dengan ahli. “Umngh…Nuna…” Digigitnya bibir bawahku dengan keras. “Jangan membantahku,” geramnya kesal. 

 

Mataku melebar. Wajahku terasa memanas saat ia mengunci pergelangan tanganku di atas kepalaku dengan mudah.

 

Sehun menyurukkan kepalanya di leherku. Berbisik di telingaku, “Nuna, kau merah sekali, seperti buah delima yang siap dibelah isinya.” Ia terkekeh pelan, tawa yang menjanjikan getaran dan dosa. “Sayangnya, aku tidak bisa merasakan rasanya karena buah itu sedang dalam masa pemulihan.”

 

Setelah mengucapkan kata ambigu yang membuat tubuhku membeku, Sehun menarik dirinya, tidak mempedulikan ketelanjangannya saat ia berdiri. “Jangan memasang wajah seperti itu, Nuna-ya. Aku akan menerkammu lagi kalau kau tetap berta—”

 

Aku mengerjap kaget, “Oh Sehuuun!”

 

“O-ow…” Ia mengedipkan sebelah matanya, kemudian menghilang begitu saja seperti baru dihela sapuan angin.

 

Tertegun dan masih terbaring di atas ranjang, aku mendapati kulit dan pakaianku yang berakhir mengenaskan atas perbuatan tidak bertanggung jawabnya itu.

 

“Oh Sehun sialaaan! Kemari kau!”

 

Fin.